Indonesia saat ini masih masuk ke dalam kelompok negara berkembang. Namun, semua rakyat di negeri kita tentu ingin negaranya meloncat ke kategori negara maju. Hal itu hanya bisa terjadi jika dunia riset di Indonesia bergairah. Inilah yang tengah diupayakan oleh pendiri Royal Golden Eagle (RGE) lewat Tanoto Student Research Award.
Source: Tanoto Foundation
Jangan menyepelekan arti riset bagi sebuah bangsa. Hubungannya sangat erat. Bahkan, tingkat penelitian yang tinggi berkorelasi langsung dengan kemajuan negara. Semakin banyak riset yang aplikatif, maka dipastikan negara tersebut maju.
Akan tetapi, kondisi di Indonesia saat ini belum seperti itu. Tingkat penelitian di negeri kita malah masih sangat rendah. Salah satu acuannya adalah hasil penelitian Kemenristek Dikti.
Hasil kajian Kemenristek Dikti menyatakan sekitar 58 persen sumber teknologi utama yang digunakan Indonesia berasal dari luar negeri antara lain Jepang, Tiongkok, dan Jerman. Riset tersebut juga menemukan bahwa 56 persen industri tidak memiliki unit riset di Indonesia. Selain itu, sekitar 59 persen industri tidak pernah menjalin kerja sama riset dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Tidak mengherankan, negeri kita justru hanya menjadi pasar potensial bagi sejumlah negara yang mampu menggalakkan riset di dalam negerinya dengan baik.
Kondisi ini mengusik Sukanto Tanoto yang mendirikan Royal Golden Eagle. Melalui Tanoto Foundation yang didirikannya sebagai upaya memberantas kemiskinan, ia berharap bisa mengubah iklim riset di Indonesia. Caranya ialah menggelar Tanoto Student Research Award (TSRA) demi merangsang semangat penelitian di negeri kita.
TSRA pertama kali diadakan pada 2007. Tujuannya ialah memberikan dukungan kepada para mahasiswa agar bersemangat melakukan riset. Cara yang diambil oleh yayasan sosial yang didirikan oleh Chairman Royal Golden Eagle, Sukanto Tanoto, tersebut adalah mendukung penelitian dari bangku perguruan tinggi.
Untuk melaksanakan TSRA, Tanoto Foundation menjalin kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Mereka adalah Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Hasanuddin, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Indonesia.
Sebagai bagian dari kerja sama, Tanoto Foundation memberikan dana hibah sebesar Rp100 juta kepada setiap perguruan tinggi. Dana itu dapat dipakai oleh para mahasiswa untuk melakukan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sampai April 2017, TSRA sudah membantu mendukung penelitian sebanyak 440 buah. Jumlah ini cukup signifikan dalam menolong pemerintah mencapai target jumlah riset yang dihasilkan.
Saat ini pemerintah Indonesia menargetkan untuk mendapatkan enam ribu hingga 6.500 penelitian yang dipublikasikan. Hal ini dirasa penting agar negeri kita tidak semakin tertinggal dari negara tetangga.
Kalau dibandingkan dengan negara di ASEAN seperti Thailand dan Singapura, porsi penelitian di Indonesia jauh tertinggal. Indikatornya dapat terlihat dari hasil riset di perguruan tinggi. Misalnya pada 2015.
Saat itu, Universitas Gadjah Mada memperoleh angka tertinggi dalam penelitian jurnal ilmiah di antara perguruan tinggi di Indonesia dengan jumlah 16.809. Namun angka tersebut kurang dari setengah penelitian yang dihasilkan oleh Chulalongkorn University di Thailand. Bahkan, pencapaian itu hanya sebagian kecil kalau dibandingkan National University of Singapura. Penelitian di sana bisa berjumlah 419,702 buah.
Hal ini yang membuat semua pihak di Indonesia seharusnya sadar bahwa semangat riset di negeri kita sangat kurang. Kondisi ini wajib dibenahi jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara maju.
Tanoto Foundation yang menggagas TSRA tahu persis kondisi penelitian di Indonesia. Ini pula yang melatarbelakangi kehadiran TSRA. Namun, lewat program tersebut, yayasan sosial yang digagas oleh pendiri Royal Golden Eagle tersebut tak hanya mengejar kuantitas penelitian. Tak kalah penting juga adalah kualitas riset.
Indikator kualitas riset TSRA yang digagas oleh yayasan nirlaba milik pendiri RGE tersebut adalah tingkat manfaat penelitian. Sebuah riset baru dikatakan bernilai tinggi jika memang mampu berguna secara nyata bagi masyarakat.
“Tanoto Student Research Award mendorong pengembangan aplikasi pengetahuan di perguruan tinggi untuk menjadi produk yang bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat,” ujar Sihol Aritonang, Ketua Pengurus Tanoto Foundation.
Harapan tersebut tampaknya dapat terwujud nyata. Setidaknya hasil dari TSRA setiap tahun memang membuahkan penelitian yang dapat diterapkan di masyarakat. Contohnya adalah beberapa hasil riset dalam TSRA 2017.
Buah karya Josua Christanto, Rahmi Karmelia, Ahmad Dhiyaaul, M. Luthvan Hood, dan Mery Astuti dari Universitas Indonesia misalnya. Mereka berhasil mengembangkan sistem pertanian presisi dengan memanfaatkan drone.
Bagaimana caranya? Pesawat terbang tanpa awak tersebut ternyata bisa membantu petani atau pelaku agribisnis dalam menganalisis tanaman pada lahan pertanian dengan saraf tiruan dalam kurun waktu yang efektif. Alat ini sanggup menyiram pestisida tanaman pada area yang luas dengan tidak menghabiskan waktu lama.
Pertanian memang merupakan sektor penting di Indonesia. Namun, penggunaan teknologi dalam bertani memang masih kurang. Tak aneh, ada para mahasiswa lain yang terusik untuk memajukan pertanian di negeri kita lewat TSRA. Contohnya adalah Bagas Adji, Syifa Paxia dan Wahyu Hartato dari Institut Pertanian Bogor. Mereka bertiga merancang silvator, sebuah mesin yang menggabungkan bor dengan roda untuk membuatnya lebih mudah bergerak.
Hasil penelitian tersebut sangat aplikatif dan dibutuhkan. Selama ini proses membuat lubang untuk tanaman ternyata hanya dilakukan dengan tangan kosong. Selain lama, kegiatan itu berbahaya. Apalagi ketika dilakukan di lahan miring.
Namun, dengan silvator buatan para mahasiswa IPB tersebut, proses menanam pohon menjadi lebih cepat dan aman. Mesin itu mampu menggali 80 lubang per jam atau sekitar dua kali lipat dari mesin penggali lubang biasa, yang hanya bisa menggali 40-45 lubang dalam kurun waktu sama.
Selain mudah diterapkan, hasil penelitian dalam TSRA juga memang diperlukan oleh masyarakat. Contoh nyata terkait pengelolaan sampah. Selama ini, sampah merupakan problem besar yang belum bisa ditemukan solusinya. Namun, hasil riset kegiatan yang didukung oleh pendiri grup yang pernah bernama Raja Garuda Mas tersebut melahirkan jawabannya.
Contoh pertama dilakukan oleh Farah Wirasenjaya, Nadhira, dan Najla Nadhia Rahmawati dari Institut Teknologi Bandung. Mereka meneliti sampah sampah yang ada di TPPAS Nambo. Sesudahnya, ketiganya mendaur ulang sampah menjadi bahan bakar untuk industri semen di dekatnya.
Penelitian Farah, Nadhira, dan Najla tersebut merupakan solusi inovatif untuk permasalahan emisi limbah karbon. Sebab, bahan bakar yang dibuat menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dari bahan bakar utama industri semen, yaitu batubara.
Riset yang dilakukan oleh Alfin Mohammad Abdillah, Dhea Shofi Racmadita dan Faldie Fathurohman dari Institut Teknologi Bandung tak kalah bermanfaat. Mereka bisa berinovasi mengolah limbah hasil pengolahan batu besar di Cirebon menjadi batako melalui sebuah proses daur ulang ini. Akhirnya kandungan setiap batako yang dihasilkan terdapat 70 % limbah batu alam di dalamnya.
Hasil penelitian seperti itu jelas bermanfaat besar bagi masyarakat. Inilah yang terus digalakkan oleh Tanoto Foundation. Yayasan sosial hasil gagasan pendiri Royal Golden Eagle ini akan terus melakukan dukungan terhadap beragam jenis penelitian lain supaya Indonesia bisa berkembang menjadi negara maju.
Source: Tanoto Foundation
Jangan menyepelekan arti riset bagi sebuah bangsa. Hubungannya sangat erat. Bahkan, tingkat penelitian yang tinggi berkorelasi langsung dengan kemajuan negara. Semakin banyak riset yang aplikatif, maka dipastikan negara tersebut maju.
Akan tetapi, kondisi di Indonesia saat ini belum seperti itu. Tingkat penelitian di negeri kita malah masih sangat rendah. Salah satu acuannya adalah hasil penelitian Kemenristek Dikti.
Hasil kajian Kemenristek Dikti menyatakan sekitar 58 persen sumber teknologi utama yang digunakan Indonesia berasal dari luar negeri antara lain Jepang, Tiongkok, dan Jerman. Riset tersebut juga menemukan bahwa 56 persen industri tidak memiliki unit riset di Indonesia. Selain itu, sekitar 59 persen industri tidak pernah menjalin kerja sama riset dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Tidak mengherankan, negeri kita justru hanya menjadi pasar potensial bagi sejumlah negara yang mampu menggalakkan riset di dalam negerinya dengan baik.
Kondisi ini mengusik Sukanto Tanoto yang mendirikan Royal Golden Eagle. Melalui Tanoto Foundation yang didirikannya sebagai upaya memberantas kemiskinan, ia berharap bisa mengubah iklim riset di Indonesia. Caranya ialah menggelar Tanoto Student Research Award (TSRA) demi merangsang semangat penelitian di negeri kita.
TSRA pertama kali diadakan pada 2007. Tujuannya ialah memberikan dukungan kepada para mahasiswa agar bersemangat melakukan riset. Cara yang diambil oleh yayasan sosial yang didirikan oleh Chairman Royal Golden Eagle, Sukanto Tanoto, tersebut adalah mendukung penelitian dari bangku perguruan tinggi.
Untuk melaksanakan TSRA, Tanoto Foundation menjalin kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Mereka adalah Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Hasanuddin, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Indonesia.
Sebagai bagian dari kerja sama, Tanoto Foundation memberikan dana hibah sebesar Rp100 juta kepada setiap perguruan tinggi. Dana itu dapat dipakai oleh para mahasiswa untuk melakukan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sampai April 2017, TSRA sudah membantu mendukung penelitian sebanyak 440 buah. Jumlah ini cukup signifikan dalam menolong pemerintah mencapai target jumlah riset yang dihasilkan.
Saat ini pemerintah Indonesia menargetkan untuk mendapatkan enam ribu hingga 6.500 penelitian yang dipublikasikan. Hal ini dirasa penting agar negeri kita tidak semakin tertinggal dari negara tetangga.
Kalau dibandingkan dengan negara di ASEAN seperti Thailand dan Singapura, porsi penelitian di Indonesia jauh tertinggal. Indikatornya dapat terlihat dari hasil riset di perguruan tinggi. Misalnya pada 2015.
Saat itu, Universitas Gadjah Mada memperoleh angka tertinggi dalam penelitian jurnal ilmiah di antara perguruan tinggi di Indonesia dengan jumlah 16.809. Namun angka tersebut kurang dari setengah penelitian yang dihasilkan oleh Chulalongkorn University di Thailand. Bahkan, pencapaian itu hanya sebagian kecil kalau dibandingkan National University of Singapura. Penelitian di sana bisa berjumlah 419,702 buah.
Hal ini yang membuat semua pihak di Indonesia seharusnya sadar bahwa semangat riset di negeri kita sangat kurang. Kondisi ini wajib dibenahi jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara maju.
PENELITIAN APLIKATIF
Tanoto Foundation yang menggagas TSRA tahu persis kondisi penelitian di Indonesia. Ini pula yang melatarbelakangi kehadiran TSRA. Namun, lewat program tersebut, yayasan sosial yang digagas oleh pendiri Royal Golden Eagle tersebut tak hanya mengejar kuantitas penelitian. Tak kalah penting juga adalah kualitas riset.
Indikator kualitas riset TSRA yang digagas oleh yayasan nirlaba milik pendiri RGE tersebut adalah tingkat manfaat penelitian. Sebuah riset baru dikatakan bernilai tinggi jika memang mampu berguna secara nyata bagi masyarakat.
“Tanoto Student Research Award mendorong pengembangan aplikasi pengetahuan di perguruan tinggi untuk menjadi produk yang bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat,” ujar Sihol Aritonang, Ketua Pengurus Tanoto Foundation.
Harapan tersebut tampaknya dapat terwujud nyata. Setidaknya hasil dari TSRA setiap tahun memang membuahkan penelitian yang dapat diterapkan di masyarakat. Contohnya adalah beberapa hasil riset dalam TSRA 2017.
Buah karya Josua Christanto, Rahmi Karmelia, Ahmad Dhiyaaul, M. Luthvan Hood, dan Mery Astuti dari Universitas Indonesia misalnya. Mereka berhasil mengembangkan sistem pertanian presisi dengan memanfaatkan drone.
Bagaimana caranya? Pesawat terbang tanpa awak tersebut ternyata bisa membantu petani atau pelaku agribisnis dalam menganalisis tanaman pada lahan pertanian dengan saraf tiruan dalam kurun waktu yang efektif. Alat ini sanggup menyiram pestisida tanaman pada area yang luas dengan tidak menghabiskan waktu lama.
Pertanian memang merupakan sektor penting di Indonesia. Namun, penggunaan teknologi dalam bertani memang masih kurang. Tak aneh, ada para mahasiswa lain yang terusik untuk memajukan pertanian di negeri kita lewat TSRA. Contohnya adalah Bagas Adji, Syifa Paxia dan Wahyu Hartato dari Institut Pertanian Bogor. Mereka bertiga merancang silvator, sebuah mesin yang menggabungkan bor dengan roda untuk membuatnya lebih mudah bergerak.
Hasil penelitian tersebut sangat aplikatif dan dibutuhkan. Selama ini proses membuat lubang untuk tanaman ternyata hanya dilakukan dengan tangan kosong. Selain lama, kegiatan itu berbahaya. Apalagi ketika dilakukan di lahan miring.
Namun, dengan silvator buatan para mahasiswa IPB tersebut, proses menanam pohon menjadi lebih cepat dan aman. Mesin itu mampu menggali 80 lubang per jam atau sekitar dua kali lipat dari mesin penggali lubang biasa, yang hanya bisa menggali 40-45 lubang dalam kurun waktu sama.
Selain mudah diterapkan, hasil penelitian dalam TSRA juga memang diperlukan oleh masyarakat. Contoh nyata terkait pengelolaan sampah. Selama ini, sampah merupakan problem besar yang belum bisa ditemukan solusinya. Namun, hasil riset kegiatan yang didukung oleh pendiri grup yang pernah bernama Raja Garuda Mas tersebut melahirkan jawabannya.
Contoh pertama dilakukan oleh Farah Wirasenjaya, Nadhira, dan Najla Nadhia Rahmawati dari Institut Teknologi Bandung. Mereka meneliti sampah sampah yang ada di TPPAS Nambo. Sesudahnya, ketiganya mendaur ulang sampah menjadi bahan bakar untuk industri semen di dekatnya.
Penelitian Farah, Nadhira, dan Najla tersebut merupakan solusi inovatif untuk permasalahan emisi limbah karbon. Sebab, bahan bakar yang dibuat menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dari bahan bakar utama industri semen, yaitu batubara.
Riset yang dilakukan oleh Alfin Mohammad Abdillah, Dhea Shofi Racmadita dan Faldie Fathurohman dari Institut Teknologi Bandung tak kalah bermanfaat. Mereka bisa berinovasi mengolah limbah hasil pengolahan batu besar di Cirebon menjadi batako melalui sebuah proses daur ulang ini. Akhirnya kandungan setiap batako yang dihasilkan terdapat 70 % limbah batu alam di dalamnya.
Hasil penelitian seperti itu jelas bermanfaat besar bagi masyarakat. Inilah yang terus digalakkan oleh Tanoto Foundation. Yayasan sosial hasil gagasan pendiri Royal Golden Eagle ini akan terus melakukan dukungan terhadap beragam jenis penelitian lain supaya Indonesia bisa berkembang menjadi negara maju.
EmoticonEmoticon